Selasa, 14 Juni 2011

Simphony #23 [Kisah Kasih]

Sesekali aku melirik centil ke arah jam tangan biru di pergelangan tangan kiriku. Seperti biasa, setiap hari Rabu, selesai kelas aku standby di halte depan sekolah. Tapi tak seperti biasa, hujan turun cukup deras kali ini. Heran, tapi yasudahlah.
Sambil bersandar di tiang halte dan mendengarkan lagu I Remember, aku menanti pukul 13.30 WIB.
"Yes," seruku dalam hati kegirangan.
Inilah saat-saat aku merasakan kalau aku hidup. Serasa kejatuhan pelangi saat dia, orang yang kusuka, lewat dihadapanku dan tersenyum padaku.
"Oh God, he's smiling to me,".
Dia memang orang yang sangat ramah. Dan senyumnya, Subhanallah.
"Wah, aku tebuai," kataku dalam hati. Nyaris tertinggal bus, dan kehilangan hidupku saat itu.
Bergegas aku masuk ke dalam bus, mengikutinya.
Tak ada alasan lain bagiku naik Bus jurusan Kota selain untuk mengikutinya. Mengikutinya ke toko buku yang selalu ia datangi, setiap hari Rabu.
Aku duduk persis di belakang-sebrang dari kursi tempat ia duduk. Pandanganku tak lepas darinya.
"Wah, inikah VMJ???," batinku dalam hati. Aku senang sekali rasanya hari ini, dan entah kenapa, tak mau rasanya bus ini cepat sampai di halte berikutnya. Karena ia akan turun, toko buku, dan pulang.
"Wah, macet, yes. yes," seruku dalam hati.
Aku tak tau kapan ini berawal, rasanya mengalir begitu saja.
"Stop, Pak", suara lantang itu terdengar.
"Kha, dia turun. kok?", tanyaku dalam benakku.
Tanpa pikir panjang, aku ikut turun.

"kemana dia?"
Tengok kanan dan kiri, depan belakang, "wah, ternyata dia disitu. sedang apa dia?"
Ini belum pernah kulihat sebelumnya, dia bersama dengan anak jalanan itu, bercengkerama dan tertawa. Aku mengamati dari kejauhan, dan "wah, dia pergi, kemana lagi?"

Aku kembali bergegas mengikutinya. Jalanan ini, ke arah toko buku itu.
"Ok2. hehehe",

Kembali kuputar ipodku, mendengarkan lagu kesukaanku, I Remember.
Berjalan santai sekitar 5 meter dibelakangnya. Sambil sesekali membaca novel sebagai alih-alihnya. Aku memang cerdik.

Dia berjalan makin cepat, dan "Ah, dia angkat telepon". Tumben sekali dia angkat telepon di jalanan seperti ini. Seingatku selama aku mengikutinya, baru ketiga kalinya ini dia berjalan sambil telepon. Wah, kebiasaan barunya. haha

Aku terus mengikutinya. "Kenapa jalanan ini sepi sekali, kemana orang-orang. apa mereka semua sedang tertidur pulas di atas kasur kapuknya, mentang-mentang habis hujan besar," seruku dalam hati. Aku tak peduli. Yang aku pedulikan sekarang, hanya dia.

Persimpangan jalan. Perempatan jalan tepatnya. Jalanan ini merupakan jalan Utama kota kami, dan kembali aku terheran, kok tumben sepi. Yasudahlah, mungkin mereka memang sedang benar-benar istirahat di rumahnya.
"Wah, dia sudah selesai telepon. Kha, kenapa dia berhenti di tengah jalan dan berjongkok?" tanyaku dalam hati,

Telepon genggamnya jatuh rupanya. Berceceran. Ini kesempatanku untuk membantunya. Dengan sigap dan bersuka ria aku melangkah. Baru selangkah aku maju, Terdengar klakson. saat kulihat ke arah kanan, ada monoreli melaju cepat, aku terpaku. Terbersit fikiran, ada sesuatu yang aneh. Oh tidak, dia, dia, dia ada di jalur itu. Kenapa tidak menyingkir. Aku mencoba berteriak. Berteriak. Berteriak. Berteriak. dan Berteriak. Aku tak bisa berteriak. Tak bisa menjangkaunya.

Sebulir air mata menetes di ujung mata kiriku. Terbiaskan air hujan yang tidak terlalu deras saat itu. Semua mulai berkerumun, mendadak ramai. aku hanya terpaku, terdiam, menyesal dalam kebisuanku. Bahkan untuk berteriak, aku tak sanggup. Kumulai mendekati kerumunan dengan tergagap-gagap. Mulai mengintip, Handphone yang masih tercecer, dan ipod. dan Merah.

Aku mundur, mundur, dan berlari. Inilah akhir hidupku.


Aku tersadar
Inilah keputusan Tuhan
Dia lebih menyayangimu
Lebih mengasihimu
Kembalilah pada tenangnya kasihNya

Air mata itu
Tidak keluar, tidak pula tertahan
Ia hanya menjadi duka yang mendalam
Suara itu
Tidak keluar, tidak pula tertahan
Hanya isakan yang kian terdengar

Dalam pasir merah
Tenanglah dalam kisah yang indah

0 komentar:

Posting Komentar